Istilah
"anak" dan "belum dewasa" dalam pengertian umum dipandang
sama atau hampir sama, sehingga keduanya sering digunakan bertukaran. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia (KBBI) Kemdikbud Daring, keduanya memang memiliki arti
yang mirip, dimana pengertian "dewasa" adalah: sampai umur; akil
balig (bukan kanak-kanak) atau remaja lagi, telah mencapai kematangan kelamin,
atau matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya), sedangkan pengertian "anak"
antara lain adalah: generasi kedua atau keturunan pertama; manusia yang masih
kecil.
Dalam
hukum, keduanya memiliki pengertian dan akibat hukum yang berbeda. Ade Maman
Suherman dan J. Satrio dengan menunjuk contoh pada Pasal 2, Pasal 307, Pasal
308, Pasal 320-322, Pasal 327, Pasal 328 KUHPerdata, Pasal 47, dan Pasal 50
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatakan bahwa
seringkali kata "anak" dalam undang-undang hanya hendak menunjukkan
kedudukan seseorang dalam hubungan kekeluargaan (Ade Maman Suherman dan J.
Satrio, 2010: 5), sementara istilah "belum dewasa" adalah berkaitan
dengan kecakapan bertindak atau melakukan perbuatan hukum.
KUHPerdata
tidak memberikan pengertian "anak", sementara pengertian kedewasaan
dapat ditarik secara a contrario dari ketentuan Pasal 330
KUHPerdata yang memuat ketentuan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa",
dan selanjutnya dalam Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan bahwa orang yang belum
dewasa digolongkan sebagai orang yang tidak cakap melakukan perjanjian.
Ketentuan
tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang
menentukan, "untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua". Sebelumnya dalam
Pasal 6 Ayat (1) UU Perkawinan ditentukan bahwa "perkawinan harus
didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai", jadi UU Perkawinan masih
mengikuti ketentuan KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang yang belum
berusia 21 tahun adalah orang yang belum dewasa dan karenanya tidak cakap
melakukan perjanjian, sebab itu untuk melangsungkan perkawinan harus mendapat
ijin dari orang tua.
Namun
demikian, berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak, UU
Perkawinan mengatur secara berbeda, dimana dalam Pasal 47 Ayat (1) ditentukan
bahwa "Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya". Demikian pula dalam kaitannya dengan
perwalian, dalam Pasal 50 Ayat (1) ditentukan bahwa "Anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali."
Selanjutnya
perubahan ketentuan batas usia yang berpengaruh besar dalam masalah kecakapan
bertindak adalah dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris yang ruang lingkupnya banyak berkaitan dengan masalah perjanjian. Dalam
Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
ditentukan bahwa, "Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
paling rendah berumur 18 tahun atau telah menikah, dan b. cakap melakukan
perbuatan hukum", artinya batas usia kedewasaan dalam kaitannya dengan
kecakapan membuat perjanjian telah bergeser dari 21 tahun menjadi 18 tahun.
Untuk
menegaskan masalah kedewasaan ini, Mahkamah Agung memberikan petunjuk dalam
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung RI sebagaimana tertuang
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan, yang secara tegas menyebutkan bahwa "dewasa" adalah cakap
bertindak dalam hukum, yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah
kawin.
Dalam
perkembangannya, berbagai peraturan perundang-undangan mengatur pengertian
"Anak" sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun,
khususnya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 35 Tahun
2014 yang memuat pengertian bahwa "Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."
Dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ditentukan bahwa, "Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18
tahun yang diduga melakukan tindak pidana". Ketentuan tersebut kemudian
dipertegas dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menentukan
bahwa diversi diberlakukan terhadap Anak yang telah berumur 12 tahun tetapi
belum berumur 18 tahun meskipun pernah kawin, yang diduga melakukan
tindak pidana.
Selain
itu pengertian "Anak" yang sama juga diberikan oleh peraturan
perundang-undangan lain, antara lain:
· Pasal 1 Ayat (5)
Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
· Pasal 1 Angka 26
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
· Pasal 4 huruf h Undang-Undang
RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
· Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang
RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
· Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang
RI No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
Konvensi
Internasional yang menjadi salah satu konsideran dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak anak - Konvensi Hak-hak Anak (Convention
on Rights of the Child, UN Resolution 44/25, 20 November 1989) yang
telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI No. 36 Tahun 1990 - memuat
pengertian "Anak" sebagai "Setiap manusia yang berusia
dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak,
kedewasaan telah dicapai lebih cepat".
Kaitan
Istilah "Anak" dan "Belum Dewasa" Dengan Status Kawin
Perlu
digarisbawahi, bahwa walaupun batas usia "Anak" ini sama dengan batas
usia "belum dewasa" sebagaimana disebutkan dimuka, keduanya memuat
ketentuan yang berbeda dalam hal telah atau belum kawin. Jika dalam pengertian
"belum dewasa" seseorang yang belum berusia 18 tahun tetapi telah
kawin, maka orang tersebut termasuk dalam pengertian "belum dewasa",
sementara dalam pengertian "Anak" tidak dipermasalahkan soal telah
atau belum kawin, sepanjang seseorang belum berusia 18 tahun maka ia termasuk
dalam pengertian "Anak".
Perbedaan
keduanya harus dicermati secara hati-hati karena memiliki konsekuensi yang
berbeda dalam hukum.
Perbedaan
kedudukan hukum berdasarkan satus belum atau telah kawinnya seseorang yang
telah berusia 18 tahun sangat jelas terlihat dalam undang-undang yang mengatur
tentang pidana anak. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, ditentukan bahwa "Anak adalah orang yang dalam
perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18
tahun dan belum pernah kawin", berbeda dengan ketentuan
Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sehingga berdasarkan Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997, seseorang yang telah
kawin dianggap telah dewasa dan karenanya tidak diadili dalam sidang pidana
anak, walaupun belum berusia 18 tahun, sedangkan dalam Undang-Undang RI No. 11
Tahun 2012, seseorang yang telah kawin tetap diadili dalam sidang pidana Anak,
sepanjang usianya belum mencapai 18 tahun.
Dari
uraian di atas jelas terlihat perbedaannya, bahwa "belum dewasa"
adalah belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin, sedangkan
"Anak" adalah belum berusia 18 tahun (tanpa melihat status sudah atau
belum pernah kawin).
Penggunaan
Istilan "Anak", "anak", dan "Belum Dewasa" Dalam
Hukum
Menurut
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, tindakan hukum berupa menutup perjanjian
adalah tindakan yang paling umum dan paling sering dilakukan manusia dalam
pergaulan hidup, dan dalam KUHPerdata tidak ada ketentuan umum yang mengatur
kecakapan bertindak, maka - dengan melalui abstraksi - dapat disimpulkan bahwa
ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata juga berlaku untuk tindakan hukum (Ade Maman
Suherman dan J. Satrio, 2010: 15), bukan hanya perjanjian, sehingga penggunaan
istilah "belum dewasa" adalah terkait dengan masalah kecakapan
bertindak atau kecakapan melakukan tindakan hukum.
Dari
rumusan berbagaii peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas,
istilah "Anak" digunakan dalam konteks hak-hak dan perindungan hukum
bagi seseorang yang belum berusia 18 tahun, yang banyak berkaitan dengan hukum
pidana.
Rumusan
pengertian di atas, sesuai pula dengan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang RI No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjelaskan bahwa "Anak
yang sudah kawin dan belum berumur 18 tahun tetap diberikan hak dan kewajiban
keperdataan sebagai orang dewasa". Artinya UU No 11/2012 tetap mengakui
bahwa Anak (seorang yang belum berusia 18 tahun) yang telah kawin, memiliki
kecakapan bertindak dalam keperdataan.
Disamping
kedua pengertian tersebut, sebagaimana pengertian gramatikal dalam KBBI
Kemdikbud Daring, "anak" diartikan juga sebagai generasi kedua
atau keturunan pertama. Pengertian gramatikal tersebut sesuai dengan pendapat
Ade Maman Suherman dan J. Satrio di atas, bahwa istilah "anak"
digunakan untuk menjelaskan hubungan kekeluargaan. Jadi ada juga istilah
"anak" yang digunakan dalam pembahasan hubungan keluarga seperti
misalnya dalam hukum waris, hukum perkawinan, dan hukum keluarga.
Untuk
membedakan istilah "Anak" dalam konteks pembahasan hak-hak dan
perlindungan hukum bagi seseorang yang belum berusia 18 tahun, dengan
penggunaan istilah "anak" dalam konteks pembahasan hubungan
kekeluargaan, dapat dilihat penulisan istilah "Anak" baik dalam UU
No. 23/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35/2014 maupun dalam UU No.
11/2012 yang menggunakan istilah "Anak" (dengan huruf A Kapital).
Atas
dasar itu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
· Istilah "belum
dewasa" digunakan dalam pembahasan masalah keperdataan tentang kecakapan
bertindak yang berkaitan dengan hukum perdata dalam lingkup hukum
kebendaan dan perikatan (baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena undang-undang);
· Istilah "Anak"
(dengan huruf A kapital) digunakan ketika kita membahas masalah hak-hak
dan perlindungan bagi seseorang yang belum berusia 18 tahun, dalam hukum
publik termasuk hukum pidana, sedangkan
· Istilah "anak"
(dengan huruf a kecil) digunakan dalam pembahasan kedudukan
seseorang dalam kaitannya dengan hubungan kekeluargaan dalam hukum perkawinan,
hukum waris, dan hukum keluarga, yang dimungkinkan penggunaannya termasuk dalam
batasan pengertian istilah "Anak" ataukah dalam pengertian istilah
"belum dewasa", tergantung pada konteks pembahasannya.
Konsekuensi
dari perbedaan istilah-istilah tersebut antara lain adalah:
· Ketika membahas
"Anak" dalam perkara pidana Anak maupun sistem peradilan pidana Anak,
tidak perlu dipermasalahkan apakah Anak - baik sebagai Anak yang berkonflik
dengan hukum maupun sebagai Anak yang menjadi korban tindak pidana - itu sudah
kawin atau belum kawin. Ketika seseorang belum berusia 18 tahun, maka ia
diperlakukan sebagai Anak.
· Sebaliknya ketika kita
membahas masalah kecakapan bertindak dalam hukum perdata, sekalipun seseorang
itu belum berusia 18 tahun, jika ia telah kawin, maka ia "telah
dewasa" dan memiliki kecakapan bertindak
Agar
tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dan para pelaksana undang-undang,
upaya penyederhanaan dan penyeragaman batasan dan istilah hukum yang
mendefinisikan tentang anak harus dilakukan dengan pembaharuan dan sinkronisasi
semua peraturan perundang-undangan yang terkait masalah anak, dan hal itu
adalah pekerjaan berat, karena di luar pembedaan istilah "Anak" dan
"Belum dewasa" sebagaimana tersebut di atas, juga banyak aturan lain
yang menunjukkan perbedaan batasan, seperti ketentuan tentang saksi dalam
perkara pidana yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah, yaitu
anak yang umurnya belum cukup 16 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 171 Ayat
(1) KUHAP), dan batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan dalam
Pasal 7 Ayat (1) UU No,. 1/1974 (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita).
Sementara
belum adanya pembaharuan dan sinkronisasi tersebut, maka setiap pembahasan
tentang anak harus memperhatikan peraturan mana yang melingkupi pembahasan
tersebut, padahal sangat dimungkinkan suatu permasalahan dilingkupi oleh
beberapa peraturan perundang-undangan. Karena itu dalam rumusan Kamar Perdata
Mahkamah Agung yang tertuang dalam Perma No. 4 Tahun 2016, disebutkan bahwa
"Penentuan mengenai batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan
hukum tidak dapat ditentukan pada usia yang sama, tetapi ditentukan berdasarkan
undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya dalam konteks perkara yang
bersangkutan (kasuistis)".
Referensi:
Ade
Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Jakarta:
Nasional Legal Reform Program, 2010
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh
Subekti dan Tjitrosudibio dengan tambahan undang-undang pokok agraria dan
undang-undang perkawinan, Cet. 28, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996
Undang-Undang
RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang
RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang
RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang
RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2004
Konvensi
Hak-hak Anak (Convention on Rights of The Child, UN Resolution 44/25, 20
November 1989), yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
1990
sumber
:
http://www.hukumpedia.com/dwihananta/istilah-anak-anak-dan-belum-dewasa-dalam-sistem-hukum-indonesia
Pengertian dan Perkembangan Batasan Usia "Anak" dan "Belum Dewasa"
4/
5
Oleh
yots