Setiap perbuatan seorang
Muslim termasuk pernikahan dalam ajaran agama Islam mengandung dua aspek
sekaligus; yaitu aspek ibadah dan juga aspek muamalah. Mempunyai nilai ibadah,
dikarenakan pernikahan merupakan salah satu perintah Allah Swt kepada hamba-Nya.
Sedangkan berdimensi muamalah, karena berkaitan dengan hak orang lain sebagai
makhluk sosial. Oleh sebab itu, diyakini pernikahan dalam pandangan Islam tidak
lain merupakan upaya perwujudan habluminallah dan juga habluminannas.
Pemahaman dan keyakinan
atas betapa mulianya ajaran Islam tentang pernikahan, hendaknya menjadi
kesadaran bagi setiap pasangan suami isteri (pasutri) yang mencita-citakan
kehidupan rumah tangga dan keluarganya bahagia dan harmonis. Dalam ajaran Islam
dikenal dengan istilah keluarga yang sakinah mawadah warahmah (Samara). Selain
itu, juga hal yang diniscayakan adalah cita-cita mewujudkan keluarga yang
kokoh dan kuat merupakan dambaan setiap pasutri.
Oleh karena itu, perlu kiranya setiap
pasutri mempunyai niat, tekad dan semangat kebersamaan dalam upaya membangun
keluarga yang kuat dan kokoh lahir batin dalam kehidupan rumah tangganya.
Jalinan kebersamaan, saling tentram-menentramkan, saling kasih-mengasihi dan
saling sayang-menyayangi adalah upaya-upaya yang musti dijadikan fondasi dalam
pengukuhan eksistensi hubungannya.
Untuk membangun
pernikahan yang kokoh, Islam juga banyak memberikan tuntunan dan
pelajaran. Dari referensi yang didapatkan, setidaknya ada 4
(empat) pilar yang menentukan sebuah keluarga akan kokoh atau rapuh.
Pilar-pilar tersebut adalah Zawaj, Mitsaqan ghalizhan, mu’asyarah bil ma’ruf
dan Musyawarah.
Pertama, zawaj yang berarti
berpasangan; dalam istilah Islam, pergaulan dalam pernikahan disebut
zawaj (berpasangan). Suami isteri itu laksana sepasang sayap yang
bisa membuat seekor burung terbang tinggi untuk hidup dan mencari kehidupan.
Keduanya penting, saling melengkapi, saling menopang satu sama lain dan saling
kerjasama antara pasutri. Dalam ungkapan al-Qur’an, suami adalah pakaian isteri
dan isteri adalah pakaian suami, sebagaimana diilustrasikan dalam Surah
Al-Baqarah (2) ayat k87.
Jika pilar ‘berpasangan’
ini dipahami dalam pernikahan yang dibangunnya, tentunya pasutri musti
menyadari betapa mereka harus saling menjaga keseimbangan dalam kehidupan rumah
tangganya. Memaklumi kekurangan pasangannya dengan menghargaidan menghormati
kelebihannya, baik isteri terhadap suami, maupun suami terhadap isteri. Insya
Allah, fitrah ‘berpasangan’ dalam kehidupan rumah tangga yang seperti ini akan
sangat indah dalam hari-harinya.
Selanjutnya, pilar
kedua, Mitsaqan ghalizhan yang berarti janji yang kuat; suami istri
sama-sama menghayati perkawinan sebagai ikatan yang kokoh sesuai tersurat dalam
Al-Qur’an Surah An-Nisa (4) ayat 21. Dengan ikatan yang kuat dan kokoh,
tentunya suami istri akan bisa saling menyangga seluruh sendi-sendi kehidupan
rumah tangga. Keduanya diwajibkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang
dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat, sementara yang lainnya
melemahkan. Saling mengukuhkan, bukan saling menggerogoti.
Kemudian pilar yang
ketiga, Mu’asyarah bil Ma’ruf atau Saling Memperlakukan Pasangannya
dengan Baik. Ikatan pernikahan tentunya juga harus dipelihara oleh pasutri
dengan cara saling memperlakukan pasangannya dengan baik dan patut, Al-Qur’an
dalam Surah An-Nisa ayat 19 memerintahkan hal ini: “Wa’asyiruhunna bil
ma’ruufi , dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.” Demikian Firman
Allah Swt.
Seorang suami harus
selalu berfikir, berupaya dan melakukan yang terbaik bagi dan untuk isteri.
Demikian juga sebaliknya seorang isteripun musti berupaya yang sama untuk
suaminya. Kata mu’asyarah bil ma’ruf adalah bentuk kata kesalingan sehingga
perilaku berbuat baik harus bersifat timbal balik, yakni suami kepada isteri
dan isteri kepada suami. Masing masing bercita-cita untuk menjadi ‘ orang nomor
satu’ bagi pasangannya.
Keempat adalah pilar
Musyawarah. Kata ini sudah pasti sangat mudah dimengerti dan dipahami.
Pengelolaan rumah tangga terutama jika menghadapi persoalan atau problematika
hendaknya harus diselesaikan bersama. Musyawarah adalah cara yang sehat untuk
berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan dan pendapat pasangannya
dan mengambil keputusan yang terbaik . Secara panjang lebar, Al-Qur’an dalam
Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 memberikan gambaran sebagai berikut:
“Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah/2:233).
Demikianlah ulasan
terkait dengan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pasangan suami isteri jika
ingin membangun pernikahan yang kokoh dan kuat dalam kehidupan rumah tangganya.
Setidaknya ke-empat pilar yang telah dipaparkan di atas bisa ditanamkan dalam
membagun pernikahan Anda. Sekadar ringkasan singkat, keempat pilar tersebut
yakni: Pilar Berpasangan, Pilar Perjanjian yang Kokoh, Pilar Saling Bergaul
dengan Cara yang Baik dan Pilar selalu Bermusyawarah. Insya Allah!
II.Memenuhi Kebutuhan Keluarga
Tidak ada perjalanan perkawinan yang lepas
dari masalah dan rintangan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang
strategi yang dapat digunakan untuk menjadikan masalah yang dihadapi sebagai
pelajaran berharga dalam perjalanan perkawinan, dan bahkan mempererat hubungan
suami istri di masa mendatang.
Berikut ini beberapa strategi yang dapat
digunakan dalam usaha memenuhi kebutuhan keluarga menurut buku Fondasi
Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin, (Kemenag RI, 2017):
1. Pembagian
peran yang lentur
Peran domestik (tugas-tugas rumah tangga)
dan peran publik (nafkah dan aktualisasi diri) yang merupakan peran utama dalam
sebuah rumah tangga, sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Pengabaian atau
kekeliruan dalam memperlakukan pembagian tugas peran ini yang kerap dan dapat
berdampak kepada ketidakstabilan rumah tangga akibat ada kebutuhan yang tidak
terpenuhi dengan baik.
Maka dari itu, pasangan suami-istri
hendaknya menyadari bahwa pembagian peran vital tersebut dapat dilakukan dengan
lentur dan kondisional. Tidak ada pembebanan peran secara spesifik dan kaku
serta berlaku sepanjang waktu dan kondisi. Seorang suami, misalnya, dapar
menggantikan peran istri dalam urusan domestik ketika sang istri berhalangan
melakukannya. Begitu pula istri, dapat mengambil alih peran yang lazimnya
dilakukan oleh sang suami ketika suami tidak dapat atau berhalangan untuk
melakukannya.
2. Bekerja
sebagai tim
Beragam dan meningkatnya kebutuhan rumah
tangga dari satu masa ke masa yang lain, menuntut pasangan suami istri untuk
bekerja sebagai sebuah tim yang solid. Suami dan istri harus saling bahu
membahu dan saling mengisi kekurangan pasangannya dalam memenuhi kebutuhan
keluarga. Dengan merasa sebagai bagian dari tim, maka suami atau istri akan
merasa belum lengkap tanpa pasangannya. Kebutuhan tersebut yang pada akhirnya
akan mewujudkan penghargaan terhadap apa yang telah diupayakan /diperoleh
pasangannya. Situasi ini akan bermuara kepada hubungan suami istri yang makin
erat dan melahirkan rasa nyaman dalam rumah tangga.
3. Relasi
berkualitas
Seperti nakhoda dalam sebuah bahtera,
posisi kepala rumah tangga amat penting dan menentukan ke arah mana rumah
tangga ini akan dibawa. Karena itu, seorang kepala rumah tangga harus bijak
dalam menyelesaikan masalah dan mampu mengarahkan misi dan tujuan rumah
tangganya menuju kehidupan yang menentramkan dan penuh kasih sayang (sakinah,
mawaddah, rahmah).
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang
kepala rumah tangga harus membangun relasi atau hubungan yang setara dengan
seluruh anggota keluarga agar jalinan hubungan antar anggota keluarga terjadi
dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan didasarkan kepada rasa takut dan
dominasi yang timpang.
4. Membongkar
ketabuan dan mengedepankan keterbukaan
Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang
penuh ketenangan dan kedamaian. Menciptakan suasana damai dan tenang
membutuhkan keberanian untuk bersikap terbuka dan jujur. Karena itu, hal-hal
yang bersifat tabu untuk dibicarakan harus diabaikan dengan menjadikannya
sebagai topik yang penting untuk dibahas dan didiskusikan di dalam keluarga.
Umumnya, hal yang dianggap tabu dibicarakan adalah hal-hal yang terkait dengan
seksualitas dan kesehatan reproduksi. Padahal, dalam keluarga, justru kedua hal
tersebut banyak berkaitan dengan hubungan suami dan istri.
Demikian juga dengan pendidikan kesehatan
reproduksi bagi anak yang merupakan kebutuhan keluarga dan menjadi tanggung
jawab orangtua. Pendidikan ini penting dilakukan dan dimulai dari dalam
keluarga dalam upaya memastikan hak kesehatan reproduksi seluruh anggota
keluarga terjaga/terjamin.
5. Membudayakan
musyawarah
Sebagimana sebuah tim, maka berbagai
keputusan yang diambil dalam keluarga harus merupakan keputusan bersama untuk
kepentingan bersama. Keputusan seperti ini harus diperoleh melalui mekanisme
musyawarah keluarga yang menempatkan seluruh anggota dalam kedudukan yang
setara. Dengan demikian setiap pendapat dari anggota keluarga dihargai dan
didengar. Budaya musyawarah dalam keluarga ini merupakan langkah penting demi
menciptakan keluarga bahagia dan harmonis, juga sejalan dengan firman Allah
dalam QS. Ali Imran: 249,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.”
III.Mempersiapkan
Generasi Berkualitas
Dalam agama Islam, anak merupakan
sebuah amanat yang diberikan oleh Allah swt kepada orangtua (ibu dan bapak).
Kelak amanat itu akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah dihari kiamat.
Untuk itu mengajarkan agama dan membimbing anak ke jalan yang benar merupakan
tugas dari orangtua. Dan begitu seterusnya, karena yang saat ini menjadi anak,
kelak akan menjadi orangtua.
Dalam sebuah kisah,
diceritakan ada orangtua yang ibadahnya baik, sholatnya tepat waktu, sedekah,
suka menolong dan lain sebagainya. Ketika di akhirat, orangtua tersebut divonis
masuk surga. Tetapi sebelum masuk syurga ada seorang pemuda yang meminta keadilan.
Pemuda itu ternyata putra dari orangtua tersebut. Pemuda itu berkata
"mereka memang ahli ibadah, suka menolong, sedekah dan lainnya, tetapi
mereka tidak pernah mengajarkan saya shalat, puasa, dan membiarkan saya
mabuk-mabukan, maksiat dsb".
Jika saya masuk
neraka, maka mereka juga harus bertanggungjawab. Akhirnya orangtua tersebutpun
masuk neraka bersama anaknya. Cerita ini menggambarkan dan mengajarkan kepada
kita bahwa mendidik dan mengajarkan anak merupakan kewajiban orangtua. Sebab
bagimanapun semuanya adalah amanat dariNya.
Al-Qur’an mengatakan
bahwa anak/keturunan dan harta adala fitnah "Dan ketahuilah, bahwa hartamu
dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala
yang besar." (Al-Anfal: 28). Maksunya ialah dalam konteks harta dan anak
seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi
sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga
dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Fitnah di sini juga berarti
bisa menyibukkan atau memalingkan seseorang dan menjadi penghalang baginya dari
mengingat dan mengerjakan amal kepada Allah swt, seperti yang digambarkan oleh
Allah tentang orang-orang munafik, sehingga Dia menghindarkan orang-orang
beriman dari kecenderungan ini. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah
swt uji pada harta dan anak bagi manusia.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah SWA juga menyebut keduanya sebagai pembuat pengecut dan kekikiran
bagi manusia. Sebagaimana dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang
bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan
pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah SWT".
4. Metode
Oleh karenanya, mari
lah kita mempersiapkan generasi (anak) yang berkualitas serta memiliki
pengetahuan dan kefahaman yang baik dalam agama. Adapun cara yang dapat
dilakukan antara lain : a) Mengajarkan konsep Luqman. b) Mengajarkan
keteladanan. c) Mengajarkan kejujuran dan d) Belajar keikhlasan.
Empat hal inilah yang
hilang dari generasi anak masa depan. Kalau kita berkaca kepada kisah Lukman,
bagaimana ia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mengenal tuhan dan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dalam segala hal, yakinilah bahwa Allah
membersamai langkah dan tindakan yang kita lakukan.
Miskin
keteladanan, ya kata itu sangat tepat untuk diungkapkan. Pasalnya tak ada lagi
yang dapat dijadikan sebagai seorang uswah (teladan) yang hidup, bagi generasi
saat ini. Semuanya memiliki "track
record" yang buruk. Hanya Rasulullahlah satu-satunya
orang yang dapat dijadikan uswah, karena tindak dan tanduk beliau bagitu indah.
Kedua yang patut
dijadikan teladan adalah orangtua kita sendiri. Tetapi kebanyakan orangtua
tidak mampu menjadi sosok yang dapat dijadikan sebagai uswah oleh anaknya.
Berarti di sini lah tantangannya bagi para calon orangtua, bagaimana
mempersiapkan diri untuk menjadi contoh yang baik dan panutan bagi anak-anaknya
kelak. Yuk kita siapkan sedini mungkin, bagaimana sudah siapkah Anda?
Kejujuran merupakan
harga mati, dan hanya segelintir orang saja yang mampu melakukannya. Begitu
banyak orang yang mampu melakukan kesalahan, tetapi hanya sedikit saja yang mau
mengakui kesalahannya. Jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan
yang terpenting adalah jujur terhadap Allah SWT. Berapa banyak yang dapat
melakukannya??
Hidup merupakan
perjalanan sementara, dan sebagai alat peantara untuk mencapai ke sebuah titik
yang disebut dengan akhirat. Semua yang dilakukan, amalan ibadah dan lain-lain
bermuara pada satu kata, yaitu kata ikhlas. Semua perbuatan yang tanpa didasari
dengan keikhlasan semuanya hampa, kosong dan tak akan memiliki nilai. Itulah
sebabnya allah melarang manusia untuk menjauhi sikap riya (syirik kecil).
Terlebih ketika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan maka
ikhlaslah yang tepat untuk diungkapkan. Sedikit ataupun banyak, besar dan kecil
semuanya harus diikhlaskan. Sebab manusia tidak akan pernah tahu rencana yang
Allah persiapkan untuk dirinya. Apapun itu, pada dasarnya baik bagi diri kita.
Yang terpenting, ketika ditimpa musibah bersabar dan ketika mendapat nikmat
bersyukur. Lebih dahsyat lagi ketika mendapatkan musiabah ia tetap mengucapkan
syukur. Allahu’alam.
MEMPERSIAPKAN PERKAWINAN YANG KOKOH MENUJU KELUARGA YANG SAKINAH
4/
5
Oleh
yots