Thursday, 28 February 2019

MEMPERSIAPKAN PERKAWINAN YANG KOKOH MENUJU KELUARGA YANG SAKINAH




 Setiap perbuatan seorang Muslim termasuk pernikahan dalam ajaran agama Islam mengandung dua aspek sekaligus; yaitu aspek ibadah dan juga aspek muamalah. Mempunyai nilai ibadah, dikarenakan pernikahan merupakan salah satu perintah Allah Swt kepada hamba-Nya.  Sedangkan berdimensi muamalah, karena berkaitan dengan hak orang lain sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu, diyakini pernikahan dalam pandangan Islam tidak lain merupakan upaya perwujudan habluminallah dan juga habluminannas.

Pemahaman dan keyakinan atas betapa mulianya ajaran Islam tentang pernikahan, hendaknya menjadi kesadaran bagi setiap pasangan suami isteri (pasutri) yang mencita-citakan kehidupan rumah tangga dan keluarganya bahagia dan harmonis. Dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah keluarga yang sakinah mawadah warahmah (Samara). Selain  itu, juga hal yang diniscayakan adalah cita-cita mewujudkan keluarga yang kokoh dan kuat merupakan dambaan setiap pasutri.
Oleh karena itu, perlu kiranya setiap pasutri mempunyai niat, tekad dan semangat kebersamaan dalam upaya membangun keluarga yang kuat dan kokoh lahir batin dalam kehidupan rumah tangganya. Jalinan kebersamaan, saling tentram-menentramkan, saling kasih-mengasihi dan saling sayang-menyayangi adalah upaya-upaya yang musti dijadikan fondasi dalam pengukuhan eksistensi hubungannya.

Untuk membangun pernikahan yang kokoh,  Islam juga banyak memberikan tuntunan dan pelajaran.  Dari referensi yang didapatkan,  setidaknya ada  4 (empat) pilar yang menentukan sebuah keluarga akan kokoh atau rapuh. Pilar-pilar tersebut adalah Zawaj, Mitsaqan ghalizhan, mu’asyarah bil ma’ruf dan Musyawarah.
Pertama, zawaj  yang berarti berpasangan;  dalam istilah Islam, pergaulan dalam pernikahan disebut zawaj  (berpasangan).  Suami isteri itu laksana sepasang sayap yang bisa membuat seekor burung terbang tinggi untuk hidup dan mencari kehidupan. Keduanya penting, saling melengkapi, saling menopang satu sama lain dan saling kerjasama antara pasutri. Dalam ungkapan al-Qur’an, suami adalah pakaian isteri dan isteri adalah pakaian suami, sebagaimana diilustrasikan dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat k87.
Jika pilar ‘berpasangan’ ini dipahami dalam pernikahan yang dibangunnya, tentunya pasutri musti menyadari betapa mereka harus saling menjaga keseimbangan dalam kehidupan rumah tangganya. Memaklumi kekurangan pasangannya dengan menghargaidan menghormati kelebihannya, baik isteri terhadap suami, maupun suami terhadap isteri. Insya Allah, fitrah ‘berpasangan’ dalam kehidupan rumah tangga yang seperti ini akan sangat indah dalam hari-harinya.
Selanjutnya, pilar kedua, Mitsaqan ghalizhan yang berarti janji yang kuat;  suami istri sama-sama menghayati perkawinan sebagai ikatan yang kokoh sesuai tersurat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa (4) ayat 21. Dengan ikatan yang kuat dan kokoh, tentunya suami istri akan bisa saling menyangga seluruh sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Keduanya diwajibkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat, sementara yang lainnya melemahkan. Saling mengukuhkan, bukan saling menggerogoti.
Kemudian pilar yang ketiga,  Mu’asyarah bil Ma’ruf  atau Saling Memperlakukan Pasangannya dengan Baik. Ikatan pernikahan tentunya juga harus dipelihara oleh pasutri dengan cara saling memperlakukan pasangannya dengan baik dan patut, Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa ayat 19 memerintahkan hal ini:  “Wa’asyiruhunna bil ma’ruufi , dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.” Demikian Firman Allah Swt.
Seorang suami harus selalu berfikir, berupaya dan melakukan yang terbaik bagi dan untuk isteri. Demikian juga sebaliknya seorang isteripun musti berupaya yang sama untuk suaminya. Kata mu’asyarah bil ma’ruf adalah bentuk kata kesalingan sehingga perilaku berbuat baik harus bersifat timbal balik, yakni suami kepada isteri dan isteri kepada suami. Masing masing bercita-cita untuk menjadi ‘ orang nomor satu’ bagi pasangannya.
Keempat adalah pilar Musyawarah. Kata ini sudah pasti sangat mudah dimengerti dan dipahami. Pengelolaan rumah tangga terutama jika menghadapi persoalan atau problematika hendaknya harus diselesaikan bersama. Musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan dan pendapat pasangannya dan mengambil keputusan yang terbaik . Secara panjang lebar, Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 memberikan gambaran sebagai berikut:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah/2:233).
Demikianlah ulasan terkait dengan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh pasangan suami isteri jika ingin membangun pernikahan yang kokoh dan kuat dalam kehidupan rumah tangganya. Setidaknya ke-empat pilar yang telah dipaparkan di atas bisa ditanamkan dalam membagun pernikahan Anda. Sekadar ringkasan singkat, keempat pilar tersebut yakni: Pilar Berpasangan, Pilar Perjanjian yang Kokoh, Pilar Saling Bergaul dengan Cara yang Baik dan Pilar selalu Bermusyawarah. Insya Allah!

II.Memenuhi Kebutuhan Keluarga
Tidak ada perjalanan perkawinan yang lepas dari masalah dan rintangan. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang strategi yang dapat digunakan untuk menjadikan masalah yang dihadapi sebagai pelajaran berharga dalam perjalanan perkawinan, dan bahkan mempererat hubungan suami istri di masa mendatang.
Berikut ini beberapa strategi yang dapat digunakan dalam usaha memenuhi kebutuhan keluarga menurut buku Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin, (Kemenag RI, 2017):
1.      Pembagian peran yang lentur
Peran domestik (tugas-tugas rumah tangga) dan peran publik (nafkah dan aktualisasi diri) yang merupakan peran utama dalam sebuah rumah tangga, sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Pengabaian atau kekeliruan dalam memperlakukan pembagian tugas peran ini yang kerap dan dapat berdampak kepada ketidakstabilan rumah tangga akibat ada kebutuhan yang tidak terpenuhi dengan baik.
Maka dari itu, pasangan suami-istri hendaknya menyadari bahwa pembagian peran vital tersebut dapat dilakukan dengan lentur dan kondisional. Tidak ada pembebanan peran secara spesifik dan kaku serta berlaku sepanjang waktu dan kondisi. Seorang suami, misalnya, dapar menggantikan peran istri dalam urusan domestik ketika sang istri berhalangan melakukannya. Begitu pula istri, dapat mengambil alih peran yang lazimnya dilakukan oleh sang suami ketika suami tidak dapat atau berhalangan untuk melakukannya.
2.      Bekerja sebagai tim
Beragam dan meningkatnya kebutuhan rumah tangga dari satu masa ke masa yang lain, menuntut pasangan suami istri untuk bekerja sebagai sebuah tim yang solid. Suami dan istri harus saling bahu membahu dan saling mengisi kekurangan pasangannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan merasa sebagai bagian dari tim, maka suami atau istri akan merasa belum lengkap tanpa pasangannya. Kebutuhan tersebut yang pada akhirnya akan mewujudkan penghargaan terhadap apa yang telah diupayakan /diperoleh pasangannya. Situasi ini akan bermuara kepada hubungan suami istri yang makin erat dan melahirkan rasa nyaman dalam rumah tangga.
3.      Relasi berkualitas
Seperti nakhoda dalam sebuah bahtera, posisi kepala rumah tangga amat penting dan menentukan ke arah mana rumah tangga ini akan dibawa. Karena itu, seorang kepala rumah tangga harus bijak dalam menyelesaikan masalah dan mampu mengarahkan misi dan tujuan rumah tangganya menuju kehidupan yang menentramkan dan penuh kasih sayang (sakinah, mawaddah, rahmah).
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang kepala rumah tangga harus membangun relasi atau hubungan yang setara dengan seluruh anggota keluarga agar jalinan hubungan antar anggota keluarga terjadi dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan didasarkan kepada rasa takut dan dominasi yang timpang.
4.      Membongkar ketabuan dan mengedepankan keterbukaan
Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang penuh ketenangan dan kedamaian. Menciptakan suasana damai dan tenang membutuhkan keberanian untuk bersikap terbuka dan jujur. Karena itu, hal-hal yang bersifat tabu untuk dibicarakan harus diabaikan dengan menjadikannya sebagai topik yang penting untuk dibahas dan didiskusikan di dalam keluarga. Umumnya, hal yang dianggap tabu dibicarakan adalah hal-hal yang terkait dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Padahal, dalam keluarga, justru kedua hal tersebut banyak berkaitan dengan hubungan suami dan istri.
Demikian juga dengan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak yang merupakan kebutuhan keluarga dan menjadi tanggung jawab orangtua. Pendidikan ini penting dilakukan dan dimulai dari dalam keluarga dalam upaya memastikan hak kesehatan reproduksi seluruh anggota keluarga terjaga/terjamin.
5.      Membudayakan musyawarah
Sebagimana sebuah tim, maka berbagai keputusan yang diambil dalam keluarga harus merupakan keputusan bersama untuk kepentingan bersama. Keputusan seperti ini harus diperoleh melalui mekanisme musyawarah keluarga yang menempatkan seluruh anggota dalam kedudukan yang setara. Dengan demikian setiap pendapat dari anggota keluarga dihargai dan didengar. Budaya musyawarah dalam keluarga ini merupakan langkah penting demi menciptakan keluarga bahagia dan harmonis, juga sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 249,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
III.Mempersiapkan Generasi Berkualitas

Dalam agama Islam, anak merupakan sebuah amanat yang diberikan oleh Allah swt kepada orangtua (ibu dan bapak). Kelak amanat itu akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah dihari kiamat. Untuk itu mengajarkan agama dan membimbing anak ke jalan yang benar merupakan tugas dari orangtua. Dan begitu seterusnya, karena yang saat ini menjadi anak, kelak akan menjadi orangtua.
Dalam sebuah kisah, diceritakan ada orangtua yang ibadahnya baik, sholatnya tepat waktu, sedekah, suka menolong dan lain sebagainya. Ketika di akhirat, orangtua tersebut divonis masuk surga. Tetapi sebelum masuk syurga ada seorang pemuda yang meminta keadilan. Pemuda itu ternyata putra dari orangtua tersebut. Pemuda itu berkata "mereka memang ahli ibadah, suka menolong, sedekah dan lainnya, tetapi mereka tidak pernah mengajarkan saya shalat, puasa, dan membiarkan saya mabuk-mabukan, maksiat dsb".
Jika saya masuk neraka, maka mereka juga harus bertanggungjawab. Akhirnya orangtua tersebutpun masuk neraka bersama anaknya. Cerita ini menggambarkan dan mengajarkan kepada kita bahwa mendidik dan mengajarkan anak merupakan kewajiban orangtua. Sebab bagimanapun semuanya adalah amanat dariNya.
Al-Qur’an mengatakan bahwa anak/keturunan dan harta adala fitnah "Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (Al-Anfal: 28). Maksunya ialah dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Fitnah di sini juga berarti bisa menyibukkan atau memalingkan seseorang dan menjadi penghalang baginya dari mengingat dan mengerjakan amal kepada Allah swt, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik, sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah swt uji pada harta dan anak bagi manusia.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SWA juga menyebut keduanya sebagai pembuat pengecut dan kekikiran bagi manusia. Sebagaimana dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah SWT".
4.       Metode
Oleh karenanya, mari lah kita mempersiapkan generasi (anak) yang berkualitas serta memiliki pengetahuan dan kefahaman yang baik dalam agama. Adapun cara yang dapat dilakukan antara lain : a) Mengajarkan konsep Luqman. b) Mengajarkan keteladanan. c) Mengajarkan kejujuran dan d) Belajar keikhlasan.
Empat hal inilah yang hilang dari generasi anak masa depan. Kalau kita berkaca kepada kisah Lukman, bagaimana ia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mengenal tuhan dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dalam segala hal, yakinilah bahwa Allah membersamai langkah dan tindakan yang kita lakukan.
Miskin keteladanan, ya kata itu sangat tepat untuk diungkapkan. Pasalnya tak ada lagi yang dapat dijadikan sebagai seorang uswah (teladan) yang hidup, bagi generasi saat ini. Semuanya memiliki "track record" yang buruk. Hanya Rasulullahlah satu-satunya orang yang dapat dijadikan uswah, karena tindak dan tanduk beliau bagitu indah.
Kedua yang patut dijadikan teladan adalah orangtua kita sendiri. Tetapi kebanyakan orangtua tidak mampu menjadi sosok yang dapat dijadikan sebagai uswah oleh anaknya. Berarti di sini lah tantangannya bagi para calon orangtua, bagaimana mempersiapkan diri untuk menjadi contoh yang baik dan panutan bagi anak-anaknya kelak. Yuk kita siapkan sedini mungkin, bagaimana sudah siapkah Anda?
Kejujuran merupakan harga mati, dan hanya segelintir orang saja yang mampu melakukannya. Begitu banyak orang yang mampu melakukan kesalahan, tetapi hanya sedikit saja yang mau mengakui kesalahannya. Jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan yang terpenting adalah jujur terhadap Allah SWT. Berapa banyak yang dapat melakukannya??
Hidup merupakan perjalanan sementara, dan sebagai alat peantara untuk mencapai ke sebuah titik yang disebut dengan akhirat. Semua yang dilakukan, amalan ibadah dan lain-lain bermuara pada satu kata, yaitu kata ikhlas. Semua perbuatan yang tanpa didasari dengan keikhlasan semuanya hampa, kosong dan tak akan memiliki nilai. Itulah sebabnya allah melarang manusia untuk menjauhi sikap riya (syirik kecil). Terlebih ketika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan maka ikhlaslah yang tepat untuk diungkapkan. Sedikit ataupun banyak, besar dan kecil semuanya harus diikhlaskan. Sebab manusia tidak akan pernah tahu rencana yang Allah persiapkan untuk dirinya. Apapun itu, pada dasarnya baik bagi diri kita. Yang terpenting, ketika ditimpa musibah bersabar dan ketika mendapat nikmat bersyukur. Lebih dahsyat lagi ketika mendapatkan musiabah ia tetap mengucapkan syukur. Allahu’alam.





Related Posts

MEMPERSIAPKAN PERKAWINAN YANG KOKOH MENUJU KELUARGA YANG SAKINAH
4/ 5
Oleh